Oleh: Hasanul Rizqa
Dalam dunia dakwah Islam di Indonesia, sosok KH Zainuddin Hamidy Turmudzi begitu legendaris. Media massa pada masanya mendaulat ulama ini sebagai “Dai sejuta umat.” Namanya lebih populer dengan sebutan KH Zainuddin MZ. Dua huruf yang tersebut paling akhir itu merujuk pada ayahandanya, Turmudzi.
Dakwah yang dilakukan KH Zainuddin MZ diterima seluruh lapisan masyarakat, mulai dari kalangan pejabat, artis perkotaan, cendekiawan, hingga rakyat biasa. Dirinya juga beberapa kali mengisi kajian keislaman di luar negeri.
Bila KH Zainuddin MZ berdiri di mimbar untuk berceramah, puluhan ribu orang menyaksikannya dengan khidmat. Suaranya cukup khas. Penampilannya berwibawa. Gaya tuturnya sederhana serta sering diselingi humor segar. Pengetahuannya dalam bidang agama Islam sangat mumpuni. Caranya membacakan ayat-ayat suci Alquran atau mengutip sumber-sumber hadis begitu fasih. Tidak jarang, peraih gelar doktor kehormatan (honoris causa) dari Universiti Kebangsaan Malaysia ini juga menyampaikan rupa-rupa kritik yang tajam mengenai ketidakadilan sosial, kemiskinan, kesenjangan ekonomi, dan masalah-masalah lainnya yang aktual bagi umat dan bangsa.
Kiprahnya di dunia syiar Islam dimulai sejak usia dini. Seperti dijelaskankan dalam buku Dakwah & Politik 'Dai Berjuta Umat' (1997), KH Zainuddin MZ berasal dari keluarga Betawi asli. Lelaki kelahiran 2 Maret 1952 ini merupakan anak tunggal dari pasangan Turmudzi dan Zainabun.
Rumah keluarga Turmudzi terletak di Gang Cemara, Kramat Pela, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan (Jaksel). Ayahanda KH Zainuddin MZ ini bekerja sebagai pegawai biasa di Perusahaan Listrik Negara (PLN). Di sela-sela waktunya, suami Zainabun tersebut juga berdagang sayur-mayur. Sementara, istrinya mengurus rumah tangga.
Allah menakdirkan bahwa Turmudzi wafat ketika anak semata wayangnya itu masih berusia dua tahun. Sebagai yatim, Udin—nama kecil KH Zainuddin MZ—diasuh oleh kakek dan neneknya. Zainabun kemudian menikah lagi dengan seorang laki-laki yang terbilang sebaya ketika putranya itu berusia 17 tahun. Dari pernikahan ini, ibu kandung Zainuddin MZ itu memperoleh tiga anak laki-laki, yaitu Munazar, Ismunandar, dan Syahbuddin.
Namun, Zainabun kemudian ditinggal wafat suaminya. Dalam rentang waktu yang lama, perempuan ini lalu menikah lagi dengan seorang karyawan Peruri. Pernikahan yang ketiga ini terjadi ketika Zainuddin MZ telah beranjak dewasa.
Keluarganya memiliki keterbatasan ekonomi. Bagaimanapun, Zainuddin pantang menyerah dalam menghadapi tiap tantangan. Ia tumbuh menjadi pribadi yang tangguh.
Sejak kecil, anak yang akrab disapa Udin itu sering membantu ibunya berjualan kecil-kecilan. Di sekolah tempatnya menimba ilmu, SD Kramat Pela, ia termasuk cemerlang. Hal itu dibuktikan antara lain dengan akselerasi yang disarankan gurunya. Jadilah dirinya lompat satu tingkat, dari yang seharusnya naik ke kelas tiga menjadi kelas lima.
Pada 1964, Udin lulus SD. Cita-citanya tinggi, seperti umumnya anak-anak Jakarta, ingin menjadi pilot atau dokter. Namun, kakeknya memandang skeptis pendidikan formal. “Lihat encing (paman) lu yang lulus SMA. Ijazahnya kagak laku. Gua kapok masukin anak ke SMP atau SMA!” ujar KH Zainuddin MZ mengenang kata-kata kakeknya. Saat itu, ia hanya bisa diam mendengarkan.
Sebaliknya, kakek KH Zainuddin MZ itu sangat antusias pada pendidikan nonformal keislaman. Harapannya ialah sang cucu kelak menjadi ulama besar. Karena itu, Udin dimasukkan ke Madrasah Ibtidaiyah Manarul Islam.
Karena ditempatkan di kelas lima, Udin saat itu merasa sedih. Baginya, ini sebuah kemunduran. Ia juga terkejut dengan sistem yang ada. Belum pernah sebelumnya ia mempelajari buku-buku berbahasa Arab. Di sekolah ini, materi agama mencakup 70 persen dari total pengajaran.
Apa daya, Udin tidak begitu unggul di sini. Namun, guru-gurunya tetap bersimpati kepadanya. Atas saran mereka pula, ia diam-diam mengikuti tes masuk Madrasah Tsanawiyah (MTs) Darul Ma'arif.
Lembaga yang berlokasi di Cipete, Jaksel, itu didirikan seorang tokoh Nahdlatul Ulama (NU) yang masyhur, KH Idham Chalid. Di antara teman-teman setingkatnya adalah Tutty Alawiyah dan Suryani Taher. Keduanya kelak aktif di dunia dakwah. Alhamdulillah, Udin lolos ujian masuk MTs Darul Ma’rif.
Bersekolah hingga menikah
Di asrama Darul Ma'arif, Udin alias Zainuddin MZ mulai serius mempelajari kitab-kitab kuning serta mengaji Alquran dan hadis. Pemuda ini juga terlibat aktif dalam setiap diskusi pelajaran. Teman-temannya kian bertambah dari hari ke hari.
Satu bakat mencuat dari dalam dirinya. Ia mahir bercerita. Itu lantaran sejak kecil, Zainuddin MZ gemar membaca buku-buku karya sastra, semisal novel-novel karangan Buya Hamka dan Marah Rusli. Dongeng “1001 Malam” dari khazanah Arab klasik serta cerita silat Kho Ping Hoo juga disukainya.
Saat berusia remaja, Zainuddin meneruskan sekolah di level madrasah aliyah pada lembaga yang sama, Darul Ma'arif. Sewaktu duduk di kelas dua, bertemulah ia untuk pertama kali dengan perempuan yang kelak menjadi istrinya, Siti Khalilah.
Muda-mudi ini saling suka. Keduanya kerap berpapasan saat aktif di organisasi Ikatan Pelajar Tsanawiyah-Aliyah. Khalilah sempat pindah sekolah ke MA Negeri Mampang Prapatan. Toh Zainuddin sering menyempatkan diri bertemu atau sekadar bertegur sapa dengannya.
Akhirnya, pemuda ini memberanikan diri melamar sang pujaan hati. Ibu dan neneknya merestui. Ayahanda Khalilah, Ayub, juga menerima. Pada 4 Februari 1972, Zainuddin dan Siti Khalilah menikah dengan resepsi yang sederhana dan menggunakan adat Betawi. Saat itu, sang mempelai pria sedang menempuh studi sebagai mahasiswa Jurusan Perbandingan Agama, Fakultas Ushuluddin, IAIN Syarif Hidayatullah.
Hingga tahun 1980, pasangan ini dikaruniai tiga orang putra, yakni Fikri Haykal, Muhammad Luthfi, dan Muhammad Fahmi. Atas kehendak Allah SWT, sang bungsu berpulang ke rahmatullah saat masih berusia tiga tahun. Seiring waktu, Zainuddin dan istri diberikan momongan lagi, yakni Ahmad Syauqi dan Muhammad Zaki.
Perjalanan Zainuddin MZ menimba ilmu di pendidikan tinggi tidaklah mudah. Lagi pula, sejak sebelum menikah, dia agaknya terpaksa memasuki jurusan tersebut. Ketika menjelang lulus madrasah Aliyah dahulu, cita-citanya adalah ke luar negeri, yakni menjadi mahasiswa Universitas al-Azhar Mesir. Keinginan itu terhalang kendala biaya. Pada akhirnya, kuliahnya di IAIN Syarif Hidayatullah kandas di tengah jalan. Padahal, saat itu dirinya sedang menempuh tahap menulis skripsi.
Menjadi penceramah
Bakat penceramah sudah tampak pada diri Zainuddin MZ sejak belia. Di MTs Darul Ma' arif, ia mulai serius mempelajari seluk-beluk kemampuan berpidato. Fokusnya terutama pada majelis kajian pidato yang dinamakan ta'limul muhadharah di sekolah tersebut. Pelatihan untuk tampil di atas mimbar shalat Jumat juga selalu diikutinya.
Kepiawaiannya dalam bidang ini terasah tajam antara lain berkat kecintaannya pada dunia sastra. Ia sangat menikmati bacaan-bacaan prosa. Karena itu, dalam ceramahnya kerap terselip cerita-cerita jenaka namun berhikmah agar para pendengar kian tertarik. Dengan cara itu pula, suasana ceramah dapat cair. Penceramah tidak mudah canggung kala berdiri di hadapan banyak orang.
Bagi Zainuddin MZ, guru pertama yang membimbingnya dalam seni berceramah ialah KH Syukron Ma'mun. Masyarakat Jakarta lebih mengenal tokoh ini sebagai pengasuh Pondok Pesantren Darul Rahman.
Zainuddin MZ amat terkesan dengan gaya tutur KH Syukron Ma’mun yang sederhana, tetapi begitu bernas. Alhasil, ceramah-ceramahnya mampu memikat atensi hadirin. Selain berguru secara langsung, dai muda ini juga mempelajari secara autodidak metode pidato tokoh-tokoh nasional, semisal KH Idham Chalid, Buya Hamka (saat itu ketua umum Majelis Ulama Indonesia), dan presiden Sukarno.
Dari memerhatikan gaya pidato Buya Hamka, Zainuddin MZ memahami betapa pentingnya menyampaikan pesan-pesan dan nasihat-nasihat yang timbul dari getaran hati nurani sendiri. Adapun dari Bung Karno, ia mengagumi metode-metode membangkitkan semangat para pendengar. Dari gurunya, KH Idham Chalid, putra daerah Betawi ini belajar tentang pentingnya logika saat beretorika.
Di luar madrasah, Zainuddin MZ mengikuti kursus yang diselenggarakan Youth Islamic Study Club (YISC) di Masjid al-Azhar, Kebayoran Baru, Jakarta. Pernah pula ia mengikuti program pelatihan mubaligh muda di Cisarua, Bogor, yang diadakan Misi Islam Indonesia. Dari semua itu, makin banyaklah gurunya dan kian beragam pula ilmu yang diperolehnya.
Beberapa di antara guru-gurunya pada masa ini adalah KH Naim, KH Ishak Darwis Jambek, Muhsin Musad, Bayumin, dan M Yusuf. Sementara itu, lingkaran pergaulannya juga makin luas. Salah satu sahabatnya adalah tokoh muda Nahdlatul Ulama, Subchan ZE. Pada 1973, Zainuddin MZ dan kawan-kawan mendirikan Yayasan Nurul Falah yang berfokus pada dunia pendidikan Islam.
Dari tahun ke tahun, nama Zainuddin MZ makin berkibar sebagai seorang mubaligh di daerah Jakarta dan sekitarnya. Banyak panitia acara-acara keagamaan Islam mengundangnya berceramah. Masa Pemilihan Umum (Pemilu) 1977 semakin melejitkan pamornya bukan hanya di level provinsi, melainkan juga nasional Tanah Air.
Dai nasional
Menjelang Pemilu 1977, Partai Persatuan Pembangunan (PPP) mulai mendekati Zainuddin MZ untuk menjadi seorang juru kampanye. Kala itu, murid KH Idham Chalid ini bersahabat baik dengan Ridwan Saidi, aktivis Himpunan Mahasiswaw Islam (HMI) yang menjadi koordinator kampanye PPP. Sejak 1977 dan pemilu-pemilu berikutnya, ia pun kerap tampil di atas panggung-panggung kampanye partai Islam tersebut.
Jumlah hadirin bisa mencapai puluhan ribu orang. Tambahan pula, ada penampilan sang raja dangdut, Haji Rhoma Irama. Di sinilah Zainuddin MZ mulai menyadari, betapa luar biasa besar potensi umat Islam di Indonesia. “Bagaimana kalau puluhan ribu Muslimin ini diajak kepada kebaikan, disadarkan dari kealpaan mengabdi kepada Allah, untuk kemudian berjuang merealisasi ukhuwah Islamiyah?” kenangnya, seperti dikutip buku Dakwah & Politik (1997).
Setahun setelah Pemilu 1982, Zainuddin MZ mulai meninggalkan panggung politik. Tujuannya semata-mata agar lebih bebas menyampaikan pesan-pesan keagamaan. Dalam arti, tidak dicurigai pihak penguasa bahwa ia membawa pesan politik-praktis tertentu.
Saat itu, jalan terbuka lebar. Sebuah perusahaan rekaman menawarkan kerja sama untuk mendokumentasikan ceramah-ceramahnya ke dalam pita kaset. Sejak itu, popularitasnya kian menanjak.
Dakwahnya kian meluas ke seluruh lapisan masyarakat, baik di dalam maupun luar negeri. Radio-radio swasta mulai menyiarkan rekaman ceramahnya. Sejurus kemudian, stasiun-stasiun televisi juga mengundang Zainuddin MZ untuk mengisi tabligh akbar secara langsung.
Permintaan berdakwah makin membeludak, termasuk yang datang dari daerah-daerah. Karena itu, Zainuddin MZ mulai membentuk koordinator. Ini agar jadwal lebih sistematis dan terencana.
Kesibukannya tidak tanggung-tanggung. Sebagai contoh, pernah suatu kali ia harus menyambangi 120 lokasi yang tersebar mulai dari Jakarta hingga Maluku. Pihak panitia bahkan menyiapkan helikopter untuk memudahkan mobilitasnya. Padahal, tidak pernah Zainuddin MZ meminta fasilitas demikian.
Ketenarannya tidak lepas dari perhatian pemerintah. Presiden Soeharto rutin mengundangnya untuk berceramah di pelbagai kesempatan, baik itu acara-acara resmi kenegaraan maupun internal Keluarga Cendana.
Dituduh ‘membisniskan dakwah’
Sebagai seorang figur publik, nama KH Zainuddin MZ sempat diterpa isu miring. Ia dituding telah mengubah dakwah Islam menjadi sebuah aktivitas bisnis atau komersial. Menjawab tuduhan tak berdasar itu, dai dari Tanah Betawi itu memaparkan tiga alasan untuk menegaskan kelirunya anggapan demikian.
Pertama, menurut KH Zainuddin MZ, ada kemungkinan beberapa kasus kecil. Pihak panitia berupaya mendatangkan seorang dai kondang sehingga menghimpun dana untuk keperluan tersendiri, termasuk untuk komunitas setempat. Mereka lalu membuat undangan dengan infak sehingga antara panitia dan koordinator terjadi semacam “bisnis.”
Kedua, lanjut Kiai Zainuddin, pihak panitia acara memang memerlukan biaya yang tidak sedikit. Namun, itu bukan karena keperluan untuk mengundangnya sebagai dai, melainkan hal-hal teknis bagi hadirin, semisal sewa tenda atau konsumsi jamaah.
Ketiga, ada kalanya pihak panitia merancang sendiri besaran dana untuk mendatangkan seorang narasumber. Padahal, dari pihak penceramah yang diundang, tidak mengharuskan hal-hal semacam demikian.
“Yang jelas, saya tetap konsekuen pada khittah. Saya tidak mengenal tarif-tarifan,” kata KH Zainuddin MZ menegaskan. Untuk menghidupi keluarganya, ia mengaku tidak mengandalkan penghasilan dari jalan dakwah.
Sebab, banyak lapangan kehidupan lain yang pantas sebagai mata pencaharian. Sebut saja, kontrak rekaman kaset, percetakan kalender, penjualan dan royalti dari buku-buku, serta beberapa badan usaha.
Jihad di jalur politik
Pada masa Orde Baru, KH Zainuddin MZ mulai akrab dengan dunia politik. Sosok yang digadang-gadang sebagai “Dai sejuta umat” ini awalnya berperan hanya sebagai juru kampanye Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Itu terjadi menjelang Pemilihan Umum (Pemilu) 1977.
Belakangan, KH Zainuddin MZ memilih bergabung ke dalam PPP sebagai seorang kader. Pilihannya jatuh ke partai berlogo bintang itu karena alasan takzim kepada sang guru, KH Idham Chalid. Untuk diketahui, tokoh Nahdlatul Ulama (NU) itu ikut mencetuskan partai tersebut. Implikasinya, suami Hj Siti Kholilah ini menjadi salah satu representasi Nahdliyin di satu-satunya wahana politik yang mengibarkan bendera Islam pada zaman Orba ini.
Sebelum berpartisipasi dalam ranah politik praktis, pria keturunan Betawi ini terlebih dahulu mendengarkan masukan-masukan dari keluarganya. Fakta tersebut diungkap salah seorang putranya, Luthfi Manfaluti, seperti dikutip Pusat Data Republika.
Saat diwawancarai pada 9 Juli 2011, Luthfi menjelaskan, motif ayahnya menjadi politikus bukan demi kepentingan transaksional duniawi. Sebab, KH Zainuddin MZ melihat politik sebagai sebuah tantangan untuk berbuat kebaikan secara sistemik. Sang ayah, kata Luthfi, tidak mau sekadar beretorika di atas mimbar, tetapi juga ingin mencurahkan pikiran dan tenaga dalam ikhtiar mengubah kehidupan masyarakat, khususnya kaum Muslimin Indonesia.
Tokoh yang lahir pada 2 Maret 1952 itu menilai, musuh utama yang mesti dibasmi adalah korupsi. Dengan ikut duduk di pemerintahan, harapannya, langkah ini meng awali keberanian dari tingkat elite untuk konsisten menyingkirkan kejahatan tersebut. Sedihnya, korupsi seakan-akan sudah mengakar di kultur politik nasional. Ini seperti sel kanker penghambat kemajuan Indonesia, termasuk di dalamnya umat Islam, demikian menurut sang kiai.
Caranya berpolitik juga merangkul semua lapisan masyarakat. Sebagai gambaran, peraih doktor honoris causa Universiti Kebangsaan Malaysia itu menggalang belasan koordinator di daerah-daerah yang tadinya hanya bertugas mempersiapkan safari dakwah. Mereka lalu memperantarai komunikasi antara pihak PPP pusat dan seluruh warga di tiap-tiap tempat.
Alhasil, daerah-daerah yang disambangi KH Zainuddin MZ dapat menjadi basis massa pendukung PPP. Selain dirinya, ada pula sahabatnya yang juga seorang musisi legendaris, Rhoma Irama. Keduanya memotori kampanye partai yang mengusung narasi Islam-kebangsaan tersebut.
Rupanya, manuver PPP membuat pihak penguasa cemas. Pemerintah Orde Baru dengan motor politik Golongan Karya (Golkar) terus mengupayakan manuver balasan. Ujung-ujungnya, pada 1982 KH Zainuddin MZ pamit dari PPP sesudah lima tahun berkiprah di sana. “Golkar sedang ganas-g” kata sang kiai mengenang waktu itu (Republika, 9/7/2011).
Hingga zaman Reformasi, KH Zainuddin MZ tidak surut semangatnya berjuang di dunia politik. Ia melihat, korupsi ternyata tidak mereda dengan tumbangnya rezim Orde Baru. Sejak 1999, tokoh ini duduk sebagai ketua Dewan Pimpinan Pusat (DPP) PPP.
Namun, beberapa tahun kemudian terjadilah friksi. Puncaknya, pada 20 Januari 2002, KH Zainuddin MZ dan rekan-rekan mendirikan PPP Reformasi. Wahana politik itu lantas berubah menjadi Partai Bintang Reformasi (PBR).
Keputusan ini terjadi sesudah muktamar luar biasa di Jakarta. PBR dimaksudkan sebagai fusi empat partai yang pernah mengikuti Pemilu 1999, yakni Partai Indonesia Baru, Partai Ummat Muslimin Indonesia, Partai Kebangkitan Muslim Indonesia, dan Partai Republik. Di PBR, KH Zainuddin MZ sempat di usung menjadi bakal calon presiden RI.
Alim ini selalu menganggap orang-orang umumnya apa adanya. Dunia politik dipandangnya bukan “abu-abu." Padahal, dalam politik, yang abadi hanyalah kepentingan, bukan hubungan antarinsan dengan segala empati dan perasaan lainnya. “Almarhum (KH Zainuddin MZ) polos saja memandang orang,” kata Luthfi menggambarkan karakteristik ayahnya di dunia politik.
Meskipun sempat merasakan menjadi ketua umum PBR, KH Zainuddin MZ justru tersisih. Sebabnya, partai ini mengalami konflik internal. Pengurus yang sedang berkuasa lantas memecatnya dari keanggotaan partai. Menurut Luthfi, ayahnya tidak lain adalah korban intrik. Beberapa pihak memanfaatkan keikhlasan Kiai Zainuddin demi keuntungan pribadi.
Walau keluarganya mendesaknya untuk melawan, sang kiai tetap saja kalem menghadapi intrik tersebut. Pada 2008, pendakwah yang pernah menempuh studi di IAIN (kini Universitas Islam Negeri) Syarif Hidayatullah itu sempat kembali ke PPP. Momentumnya terjadi satu tahun menjelang Pemilu 2009. Namun, pada akhirnya ia keluar sama sekali dari dunia politik.
Dalam sebuah wawancara, KH Zainuddin MZ menekankan, keahlian seorang ulama terletak pada bidang agama, bukan politik. Oleh karena itu, lanjutnya, panggung politik bukanlah dunia mubaligh. Ia lantas mengutip sebuah hadis Nabi Muhammad SAW yang mengajarkan, bila sesuatu diserahkan bukan kepada ahlinya, maka tunggulah kehancuran.
“Saya membuktikan itu saat aktif di panggung politik selama tiga setengah tahun. Karena itu, saya kembali ke habitat untuk berdakwah kepada umat,” kata KH Zainuddin MZ saat berceramah di hadapan ratusan warga Surabaya, Jawa Timur (Republika, 24/5/2010).
Toh tantangan di dunia politik dan dakwah pada prinsipnya tidak berbeda. Di lapangan yang sama, ada jutaan orang Islam yang masih memerlukan arah bimbingan. Baginya, setiap Muslim harus keluar dari jebakan-jebakan duniawi. Penceramah ini kemudian mengingatkan, umat Islam di Indonesia masih kurang serius menanggulangi tiga penyakit cinta-dunia. Ketiganya disingkat sebagai “kudis, kurap, dan kutil.”
Maksudnya, kudis adalah “kurang disiplin”, kurap itu “kurang rapi”, dan kutil berarti “kurang teliti.” Di atas itu semua, kaum Muslimin masih memiliki akar masalah, yakni kuman alias “kurang iman.”
“Penyakit fisik masih mudah disembuhkan dengan datang ke dokter, tetapi penyakit jiwa dapat disembuhkan dengan datang ke ulama, kembali kepada agama,” kata KH Zainuddin MZ mengingatkan.
Wafatnya
Pada 5 Juli 2011, kabar duka datang tiba-tiba. KH Zainuddin MZ berpulang ke rahmatullah. Beberapa jam sebelumnya, pemilik nama lengkap Zainuddin Hamidy Turmudzi ini sempat sarapan pagi di rumahnya di bilangan Gandaria, Jakarta Selatan, bersama istri dan anak-anak.
Namun kemudian, ia pingsan. Pihak keluarga segera membawanya ke RS Pusat Pertamina, Jakarta. Sayang, dokter di IGD setempat menyatakan sang mubaligh sudah meninggal dunia tepat pada pukul 09.20 WIB. Penyebab kematiannya dipastikan adalah serangan jantung.
Sesudah mendapatkan kabar ini, para peziarah berduyun-duyun dari pelbagai penjuru ke lokasi. Jumlahnya mencapai ribuan. Mereka berasal dari lintas kalangan, mulai dari tokoh-tokoh nasional, sesama rekan pendakwah, hingga warga biasa. Semuanya berduka, merasa kehilangan salah satu ulama besar kontemporer di Indonesia.
Ribuan orang mengantar pemakamannya. Alunan doa, takbir, dan tahlil tak henti mengalir dari lisan mereka yang mengiringi jenazah sang kiai. Jasadnya dikebumikan di halaman belakang Masjid Fajrul Islam, yang terletak di seberang rumah pribadi almarhum.
Penyayang keluarga
KH Zainuddin MZ menapaki perjalanan hidupnya sebagai seorang mubaligh dari nol. Seperti diceritakan putra pertamanya, Fikri Haykal, dikutip dari Pusat Data Republika. Fikri menuturkan, ayahnya kerap berceramah tanpa bayaran sepeser pun saat namanya masih dikenal sebatas wilayah-wilayah tertentu di Jakarta. Pernah suatu ketika, Kiai Zainuddin diberi amplop yang lantas diketahui isinya kosong sesudah mengisi kajian di suatu tempat.
Rupa-rupa pengalaman telah dilaluinya dalam meniti jalan dakwah. Kemampuannya dalam berceramah kian berkembang setelah lulus dari Perguruan Darul Ma'arif yang diasuh tokoh Nahdlatul Ulama (NU), KH Idham Chalid.
Zainuddin MZ muda belajar banyak hal dari sosok pahlawan nasional RI itu. Selain gaya ceramah KH Idham Chalid, ia juga menggemari cara-cara presiden pertama Indonesia, Sukarno, berpidato.
Fikri menuturkan, pada masa awal KH Zainuddin MZ sebagai penceramah, sempat mengalami demam panggung. Keringat dingin terasa mengucur sesaat sebelum tampil di podium. Untuk mengatasi ini, Kiai Zainuddin selalu mempersiapkan bahan serta menuliskan kerangka alur materi yang hendak disampaikannya. Seiring waktu, kebiasaan ini mulai ditinggalkan.
Sebab, persiapannya cukup hanya dengan membaca beberapa buku yang relevan, sedangkan kerangka alur materi sudah tercipta di benaknya menjelang ceramah. Buku menjadi santapan wajib demi menambah wawasan. Fikri Haykal mengungkapkan, ayahnya memiliki perpustakaan pribadi dengan koleksi ribuan eksemplar buku.
Selain buku-buku, sumber bahan ceramahnya adalah berita-berita yang memuat isu-isu aktual, baik terkait lingkup daerah, nasional, maupun internasional. Semua itu diraciknya dengan menyelipkan humor-humor khas Betawi, yang luwes, tetapi sarat pesan moral.
Menurut Fikri, di tengah kesibukan berdakwah, ayahnya tetap memosisikan keluarga sebagai prioritas. KH Zainuddin MZ kerap membawa anak-anaknya ikut dalam safari dakwah. Tidak lupa pula untuk mengajak keluarganya berlibur. Pernah suatu ketika, mereka liburan ke Yogyakarta. Kiai Zainuddin sendiri mengemudikan mobilnya dari Jakarta.